Kumpulan Puisi Chairil Anwar

Chairil Anwar merupakan salah satu penyair terkemuka di Indonesia. Salah satu puisinya bahkan telah dinobatkan sebagai puisi nasional.

Walaupun telah lama meninggal pada 28 April 1949, karya-karya Chairil Anwar masih tetap hidup dan membanjiri dunia sastra Indonesia.

Bahkan, pada bulan Juni 2007 ia masih mendapatkan penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 dalam kategori seniman sastra yang diterima oleh putrinya, Evawani Elissa Chairil Anwar.

Ada banyak sekali tema puisi yang ia ciptakan, di antaranya tema pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga multi-interpretasi

Namun, sebelum lanjut ke kumpulan puisi karya Chairil Anwar, yuk kita ketahui dulu biografi singkat Chairil Anwar berikut ini.


Biografi Singkat Chairil Anwar

Chairil Anwar adalah salah satu sastrawan tersohor di Indonesia. Beliau lahir di Medan, 26 Juli 1922 dan meninggal di usia 26 tahun pada 28 April 1949 di Jakarta.

Dijuluki sebagai “Si Binatang Jalang” dari karyanya yang berjudul Aku. Ia diperkirakan sudah menulis 96 karya termasuk 70 puisi yang diciptakan pada masa hidupnya selama 26 tahun.

Adapun untuk puisi pertama yang diciptakan berjudul Nisan yang diterbitkan pada tahun 1942. Hampir semua karyanya merujuk pada kematian seolah-olah ia telah menyadari akan mati muda seperti yang dikemukakan oleh kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw.

Hingga pada tahun 1949 ia dikabarkan meninggal karena mengidap sejumlah penyakit, maka untuk mengenang karya-karyanya dibuatlah hari yang disebut sebagai Hari Puisi Nasional: Mengenang Wafatnya Legenda Penyair Chairil Anwar yang diperingati setiap  tanggal 28 April.

Dalam masa hidupnya puisi yang terakhir diciptakan berjudul Derai-Derai Cemara, sedangkan puisi yang paling populer berjudul Aku dan Krawang-Bekasi.

Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buah buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat: Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950).


Kumpulan Puisi Chairil Anwar yang Populer dan Menginspirasi

#1. Aku

Aku

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Aku ini sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

-Maret 1943-

#2. Krawang-Bekasi

Krawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak kami mati muda

Yang tinggal tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami yang tinggal-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

#3. Sia-Sia

Sia-Sia

Penghabisan kali itu kau datang

Membawa kembang berkarang

Mawar merah dan melati putih:

Darah dan suci.

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

#4. Derai-Derai Cemara

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan ditingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

#5. Diponegoro

Diponegoro

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.

Serang.

Terjang.

#6. Doa

Doa

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

#7. Di Masjid

Di Masjid

Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia Bernyala-nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya

Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda

Ini ruang

Gelanggang kami berperang.

Binasa-membinasa

Satu menista lain gila

#8. Senja di Pelabuhan Kecil

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

-1946-

#9. Tak Sepadan

Tak Sepadan

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kimpoi, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita pahami

Unggunan api ini

Karena kau tidak akan apa-apa

Aku terpanggang tinggal rangka.

#10. Persetujuan dengan Bung Karno

Persetujuan dengan Bung Karno

Ayo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

Dipanggang di atas apimu, digarami lautmu

Dari mulai 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api, Aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu, di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu, di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh

#11.Cinta dan Benci

Cinta dan Benci

Aku tidak pernah mengerti

Banyak orang menghembuskan cinta dan benci

Dalam satu nafas

Tapi sekarang aku tahu

Bahwa cinta dan benci adalah saudara

Yang membodohi kita, memisahkan kita

Sekarang aku tahu bahwa

Cinta harus siap merasakan sakit

Cinta harus siap untuk kehilangan

Cinta harus siap untuk terluka

Cinta harus siap untuk membenci

Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita

Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan

Setiap emosi jatuh… Keluarlah cinta

Sekarang aku mengetahui implikasi dari cinta

Cinta tidak berasal dari hati

Tapi cinta berasal dari jiwa

Dari zat dasar manusia

Ya, aku senang telah mencintai

Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup

Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku

#12. Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.

angin membantu, laut tenang, tapi terasa

aku tidak akan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama kan merapuh!

Mengapa ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau kumati, dia mati iseng sendiri.

#13. Sajak Putih

Sajak Putih

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi

Malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita mati datang tidak membelah

#14. Sebuah Kamar

Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satunya!”

Ibuku tertidur dalam tersendu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

di luar hitungan: Kamar begini,

3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

#15. Selamat  Tinggal

Selamat Tinggal

Ini muka penuh luka

Siapa punya?

Kudengar seru menderu

Dalam hatiku

Apa hanya angin lalu?

Lagi lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah..!!!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal..!!!

Selamat tinggal…!!

#16. Rumahku

Rumahku

Rumahku dari unggun timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senja kala

Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi

Tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu

#17. Kepada Peminta-minta

Kepada Peminta-minta

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

#18. Prajurit Jaga Malam

Prajurit Jaga Malam

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian

ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

#19. Cerita Buat Dien Tamaela

Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattiradjawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu.

Beta Pattiradjawane

Kikisan laut

Berdarah laut.

Beta Pattiradjawane

Ketika lahir dibawakan

Datu dayung sampan.

Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.

Beta api di pantai. Siapa mendekat

Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari

Menurut beta punya tifa,

Pohon pala, badan perawan jadi

Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!

mari beria!

mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah

Beta bikin pala mati, gadis kaku

beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang

Irama ganggang dan api membakar pulau….

Beta Pattiradjawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu.

#20. Hampa

Hampa

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik…

Memberat-mencekung punda…

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.

#21. Yang Terampas dan Yang Terputus

Yang Terampas dan Yang Terputus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku yang akan datang) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

#22. Kepada Kawan

Kepada Kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat

Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat

Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa

Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada

Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam

Layar merah berkibar hilang dalam kelam

Kawan, mari kita putuskan kini di sini

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Jadi

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju

Jangan tembatkan pada siang dan malam

Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat

Tidak minta ampun atas segala dosa

Tidak memberi pamit siapa saja

Jadi

Mari kita putuskan sekali lagi

Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi

Sekali lagi kawan, sebaris lagi

Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu…!!

#23. Kawanku dan Aku

Kawanku dan Aku

Kami sama pejalan larut…

Menembus kabut,

Hujan mengucur badan,

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.

Darahku mengental pekat… Aku tumpat pedat…

Siapa berkata-kata…?

Kawanku hanya rangka saja,

Karena dera mengelucak tenaga.

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali,

Hilang tenggelam segala makna,

Dan gerak tak punya arti.

-5 Juni 1943-

#24. Lagu Siul

Lagu Siul

(I)

Laron pada mati

Terbakar di sumbu lampu

Aku juga menemu

Ajal di cerlang caya matamu

Heran! ini badan yang selama berjaga

Habis hangus di api matamu

‘Ku kayak tidak tahu saja.

(II)

Aku kira

Beginilah nanti jadinya:

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta,

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa,

Aku terpanggang tinggal rangka

#25. Puisi Kehidupan

Puisi Kehidupan

Hari hari lewat, pelan tapi pasti

Hari ini aku menuju satu puncak tangga yang baru

Karena aku akan membuka lembaran baru

Untuk sisa jatah umurku yang baru

Daun gugur satu-satu

Semua terjadi karena ijin Allah

Umurku bertambah satu-satu

Semua terjadi karena ijin Allah

Tapi… coba aku tengok kebelakang

Ternyata aku masih banyak berhutang

Ya, berhutang pada diriku

Karena ibadahku masih pas-pasan

Kuraba dahiku

Astagfirullah, sujudku masih jauh dari khusyuk

Kutimbang keinginanku….

Hmm… masih lebih besar duniawiku

Ya Allah

Akankah aku masih bertemu tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?

Akankah aku masih merasakan rasa ini pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?

Masihkah aku diberi kesempatan?

Ya Allah….

Tetes air mataku adalah tanda kelemahanku

Rasa sedih yang mendalam adalah penyesalanku

Astagfirullah…

Jika Engkau ijinkan hamba bertemu tahun depan

Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini lebih khusyuk dalam ibadah…

Timbangan dunia dan akhirat hamba seimbang…

Sehingga hamba bisa sempurna sebagai khalifahMu…

Hamba sangat ingin melihat wajahMu di sana…

Hamba sangat ingin melihat senyumMu di sana…

Ya Allah,

Ijinkanlah…

#26. Tuti Artic

Tuti Artic

Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

Adikku yang lagi keenakan menjilati es artic;

Sore ini kau cintaku, ku hiasi dengan susu + coca cola.

Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa

Ketika kita bersepeda kuantar kau pulang

Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,

Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar,

Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.

-1947-

#27. Nisan

Nisan

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertahta

#28. Maju

Maju

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU…

Bagimu negeri

Menyediakan api

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju…

Serbu…

Serang…

Terjang…

#29. Aku Berkaca

Aku Berkaca

Ini muka penuh luka

Siapa punya?

Kudengar seru menderu dalam hatiku

Atau hanya angin lalu?

Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta

Ah..!!!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak ku kenal..!!!

Selamat tinggal…!!


Itulah kumpulan puisi Chairil Anwar yang sarat akan makna dan menginspirasi. Selain kumpulan puisi di atas, sebenarnya masih banyak karya Chairil Anwar yang telah melegenda.

Namun, karena banyaknya puisi Chairil Anwar tidak sanggup jika disajikan dalam satu artikel ini, oleh karena itu kami pilih beberapa puisi yang dapat menginspirasi.

Nah, buat kamu nih yang lagi cari situs referensi pembelajaran, mulai dari jenjang SMP s/d SMA bisa banget buat kunjungi milenialjoss.com karena selain ad friendly, materi yang disampaikan juga mudah dipahami lo, sobat bandoppler.